Beranda | Artikel
Tuntunan Islam Bagi Para Makelar (seri Pertama)
Selasa, 1 April 2014

Alhamdulillah, salawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.

Saudaraku, mungkin Anda merasa segan untuk terjun ke dunia bisnis. Banyak alasan yang mendasari keseganan Anda ini, di antaranya ialah karena faktor modal.

Saudaraku, besarkan harapan dan tidak perlu berkecil hati! Betapa banyak pengusaha sukses yang merintis kesuksesannya dari titik nol. Bila Anda bertanya kepada mereka, “Apa modal awal bisnis Anda?” Mereka hanya bisa menggelengkan kepala, sebagai ungkapan bahwa pada awalnya mereka tidak memiliki modal sepeser pun. Lalu, apa yang menjadikan mereka berani terjun ke dunia bisnis?

Ketauhilah, Saudaraku. Seringkali, yang menjadikan mereka bernyali besar sehingga menekuni dunia bisnis hanyalah kepercayaan diri. Mereka percaya bahwa mereka memiliki kemampuan dan merasa yakin bisa mendapatkan kepercayaan. Bila demikian adanya, maka apa yang menjadikan Anda segan untuk turut menekuni dunia bisnis? Bukankah Anda meyakini bahwa bisnis–alias perniagaan–adalah salah satu ladang rezeki yang terbaik?

“Dari sahabat Rafi’ bin Khadij, ia menuturkan, ‘Dikatakan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), ‘Wahai Rasulullah, penghasilan apa yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Hasil karya seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap perniagaan yang baik.”” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim; oleh Syeikh Al-Albani dinyatakan sebagai hadis sahih)

Saudaraku, banyak celah usaha terbuka lebar di depan Anda! Salah satunya ialah menjadi perantara–alias moderator–atau lebih akrab disebut “makelar”.

Saudaraku, bila Anda telah menemukan celah ini dan Anda merasa cocok untuk memasukinya, maka alangkah baiknya bila terlebih dahulu mengetahui cara syariat agama memberi bantuan bagi Anda.

1. Jujur

Kejujuran adalah kepribadian yang seyogianya mendasari setiap aktivitas seorang muslim. Sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas berkata, “Seorang muslim itu bisa saja memiliki tabiat pengkhianat dan pendusta.” (HR. Al-Baihaqi)

Dalam dunia percaloan, betapa sering kita mendapatkan saudara-saudara kita melanggar prinsip ini. Ada yang mengaku sebagai pemilik barang, sehingga ia bernegosiasi dengan calon pembeli. Padahal, pemilik barang sesungguhnya tidak pernah memberi wewenang untuk mengadakan negosiasi atau akad penjualan. Ia hanya mendapatkan kepercayaan mencarikan calon pembeli atau calon penjual.

Di antara sikap mediator, yang nyata merusak kepribadiannya sebagai muslim, ialah menyalahi ketentuan harga jual yang diamanahkan kepadanya. Menaikkan harga jual tanpa persetujuan dari pemilik barang demi mengambil selisih harga jual lebih tinggi dari yang dijanjikan pemilik barang. Bisa saja, barang yang diamanahkan kepadanya itu tidak laku jual atau paling kurang tepat menemukan pembeli.

Pada suatu hari, sahabat Hakim bin Hizam–seorang pengusaha–bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang permasalahan yang sering dihadapinya, “Wahai Rasulullah, sebagian orang mendatangiku ingin membeli sesuatu yang tidak/belum aku miliki. Ia menginginkan agar aku terlebih dahulu membeli barang yang ia inginkan dari pasar, lalu aku menjualnya kembali kepadanya.” Rasulullah menjawab, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak engkau miliki.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah)

2. Perjelas hak Anda

Saudaraku, syariat Islam mengajarkan agar kita senantiasa menghormati kepemilikan hak-hak saudara kita. Oleh karena itu, penuhi prinsip perniagaan, mulai dari kejelasan status, hak, hingga kewajiban. Memperjelas hak dan kewajiban, sejak awal akad, menjadikan Anda tenang dan menjauhkan diri dari persengketaan. Ketahuilah, setiap akad atau transaksi, yang berpeluang menyulut persengketaan antara sesama muslim, biasanya diharamkan dalam Islam. Karenanya, sekali lagi, perjelaslah hak dan kewajiban Anda sebelum melangkah lebih jauh.

Inilah yang mendasari sahabat Umar bin Al-Khatthab untuk menyatakan, “Penentu hak adalah persyaratan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi; oleh Al-Albani dinyatakan sebagai riwayat yang sahih)

Ketahuilah, Saudaraku! Hak Anda sebagai mediator hanyalah fee atau upah yang telah disepakati dengan pemberi amanah. Adapun selebihnya adalah hak pemilik amanah, bukan milik Anda. Karenanya, Anda berkewajiban untuk menghormati dan tidak sepantasnya melanggar hak saudara Anda tanpa izin dan keridhaan darinya.

Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwa darinya.” (HR. Ahmad, Ad-Daraquthni, dan Al-Baihaqi; oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Al-Albani dinyatakan sebagai hadis sahih)

Pendek kata, sebesar apa pun hak yang telah dijanjikan oleh pemilik amanah dan telah Anda setujui, maka hanya itulah hak yang layak Anda tuntut dan wajib ia berikan. “Kaum muslimin senantiasa memenuhi persyaratan mereka.” (HR. Abu Daud, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi; oleh Al-Albani dinyatakan sebagai hadis sahih)

3. Hindarilah khianat terselubung

Di dunia ini, banyak orang bermuka dua; berkesan menolong atau belas kasihan, namun sesungguhnya menyimpan kebengisan. Karenanya, dalam dunia percaloan, Anda seringkali menemukan mediator yang terkesan berpihak kepada Anda, tapi tanpa Anda sadari–sebenarnya–ia sedang bersekongkol dengan penjual untuk mengeruk harta Anda.

Misalnya, bila Si A memiliki toko bahan bangunan, yang biasanya menjual genting seharga Rp 1.000,00 (seribu rupiah) per genting, tetapi karena Konsumen B datang ke toko tersebut dengan dibawa oleh Si C yang berprofesi sebagai tukang bangunan maka Si A menjual gentingnya kepada Si B seharga Rp 1.050,00 (seribu lima puluh rupiah) per genting, dengan perhitungan: Rp 1.000,00 adalah harga genting sebenarnya, dan Rp 50,00 adalah fee untuk C yang telah berjasa membawa konsumen ke toko Si A.

Saudaraku, bila Anda telah menemukan celah ini dan Anda merasa cocok untuk memasukinya, maka alangkah baiknya bila terlebih dahulu Anda mengetahui tuntunan syariat agama bagi Anda.

Sudah barang tentu, ketika A menaikkan harga penjualan dari Rp 1.000,00 menjadi Rp 1.050,00 dengan perhitungan seperti di atas, tanpa sepengetahuan B. Pada kasus seperti ini B dirugikan, karena ia dibebani Rp 50,00 sebagai fee untuk C, tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu. Padahal biasanya, si C telah mendapatkan fee dari si B yang setimpal atas jasanya memilihkan toko dan barang yang dibeli.

Sikap seperti ini tentu bertentangan dengan firman Allah ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka-sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa:29)

Juga bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian pada orang lain, juga tidak dibenarkan membalas dengan yang melebihi perbuatan. Barang siapa yang melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, niscaya Allah timpakan kerugian kepadanya. Barang siapa yang melakukan perbuatan yang menyusahkan orang lain, niscaya Allah menimpakan kesusahan kepadanya.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)

Bila pemilik toko memberi fee kepada Si C tanpa menaikkan harga jual maka itu tidak salah. Atau, sebelumnya pemilik toko memberitahukan kepada pembeli bahwa harga genting ditambah fee yang akan deberikan kepada mediator, dan ternyata pembeli mengizinkan, maka ini dibenarkan.

Artikel www.PengusahaMuslim.com


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/2190-tuntunan-islam-bagi-para-makelar-seri-pertama.html